24 Jam Bersama Cika

Kamis pagi, anak kelas 2 hari itu akan belajar sains. Kami akan melanjutkan percobaan membuat tauge kacang hijau.  Zaky yang sedang duduk di atas bale-bale bersama Fatah dan pak Mu’min langsung tersenyum menyambut.

“Bu, aku sudah lihat kacang hijaunya. Sudah tumbuh. Dia sudah jadi tauge.”

“Wah, bagus dong. Berarti, hari ini kita sudah bisa panen.” Bu Guru membalas sambutan Zaky sambil meminta tolong pak Mu’min untuk mengikat  ayam yang dibawanya. Melihat ayam itu, segera saja Zaky  berlari ke aula sambil berteriak-teriak.

“Teman-teman, Bu Guru bawa ayam! Bu Guru bawa ayam!” Zaky berteriak memanggil teman-temannya.

Tak perlu waktu lama, semua temannya sudah merubung ayam yang baru saja selesai diikat pada salah satu kaki pot bambu bertingkat yang berisi tanaman percobaan siswa TK Senior.

“Bu, ayamnya laki-laki atau perempuan?” Tanya Izzah.

“Kalau binatang, buka laki-laki atau perempuan..tapi jantan atau betina.” Salah seorang dari mereka, entah siapa,  meralat  pertanyaan Izzah.

“Oh iya. Ayamnya jantan atau betina bu?” Izzah mengulangi pertanyaannya.

“Coba perhatikan baik-baik. Ayam ini jantan atau betina? Ayo, siapa yang pernah melihat ayam?”

“Aku..aku..” Hampir semua anak mengaku pernah melihat ayam.

“Kalau ayam jantan, ada jenggernya. Ini juga ada jenggernya. Berarti ayam jantan.” Sahut Adib.

“Ih..ini ayam betina. Ayam jantan tidak seperti ini. Ayam ini ekornya tidak panjang.” Hadyan memberikan  pendapat.

“Hadyan betul anak-anak. Ini ayam betina. Ayam betina memang ada juga yang berjengger besar. Tapi  ayam jantan biasanya ekornya lebih panjang dan kakinya bertaji lebih panjang.”

“Bu, ini ayam kita ya? Untuk dipelihara atau dipotong?” Tanya Zaky.

“Anak-anak maunya bagaimana, dipotong atau dipelihara?”

“Dipelihara!”

“Dipotong!”

“Dipelihara!”

“Dipotong!”

“Dipelihara dulu, baru dipotong!

Maka ramailah mereka berdebat akan diapakan ayam itu. Dan akhirnya mereka sepakat untuk sementara  memeliharanya saja, bahkan segera mencarikannya nama.

“Namanya Chaki. Seperti ayam KFC.” Usul Adib.

“Ih..ini kan ayam betina. Jadi harus nama perempuan.” Tiya memprotes temannya.

“Kalau begitu Lina saja…” kata Adib dengan wajah serius, “Atau Bu Olle,” lanjutnya kemudian. Namun anak-anak perempuan ramai memprotes nama-nama usulan Adib dengan berbagai alasan.

“Bu, bahasa Inggrisnya ayam chicken kan?” ujar Diva.

“Iya, betul Diva.”

“Kalau begitu ayamnya kita beri nama Cika.” Usul Diva.

“Iya..betul. Namanya Cika saja.” Tiya, Aziizah dan Izzah menyetujui usul itu.

Maka jadilah ayam betina itu diberi nama Cika. Sesudah peresmian nama, mereka lalu meminta sedikit beras ke dapur dan ramai-ramai memberi  Cika  makan. Setelah itu baru mereka melanjutkan pengamatan percobaan membuat tauge kacang hijau.

Siang hari, makin banyak siswa yang datang melihat Cika dan memberinya makan. Tentu saja Cika jadi kekenyangan dan enggan menyentuh makanan lagi. Mereka bahkan berteriak-teriak waktu menyaksikan Cika malah makan kerikil. Mereka nampaknya belum tahu bahwa ayam memerlukan kerikil untuk mencerna makanannya.

Di hall, tiba-tiba datang Auna, seorang siswa PG  menghampiri.

“Bu, bisa minta sepotong ayam indomienya?”

“Ayam indomie? Apa itu ayam indomie Auna?” Bu guru pura-pura  bingung dengan pertanyaan Auna. Maka Auna pun menunjuk ke halaman belakang tempat Cika diikat. Wah, rupanya Auna menyebut Cika dengan ayam indomie karena bulu Cika memang sangat mirip dengan bulu ayam pada iklan indomie di TV.

Begitulah. Hingga sore hari, Cika jadi topik yang diobrolkan anak-anak Cendekia hingga mereka menjelang pulang. Karena sebagian besar anak-anak tidak pernah memelihara ayam, berbagai saran ‘ajaib’ pun muncul saat ditanyakan dimana malam itu Cika akan tidur karena belum memiliki kandang. Mulai dari dimasukkan ke kelas, dibuatkan tempat tidur seperti kucing, dimasukkan ke kardus yang dilubangi hingga dinaikkan ke pohon menjadi saran anak-anak. Akhirnya diputuskan bahwa Yos, OB sekolah yang akan bertanggung jawab untuk mengamankan Cika malam itu.

Keesokan harinya, tanpa sepengetahuan anak-anak, Cika ternyata nyaris mati percuma setelah ditemukan tergantung di pohon. Rupanya, tali yang digunakan oleh Yos untuk mengikat Cika pada pohon tidak cukup panjang, sehingga subuhnya, ketika Cika akan turun dari pohon tempatnya bertengger semalam, akhirnya malah tergantung. Untungnya cepat ditemukan oleh Mama Yeri  -petugas di dapur sekolah- yang  tiba lebih cepat di sekolah pagi itu.

Kejadian nyaris matinya Cika lalu jadi perbincangan  saat guru dan siswa mulai berdatangan. Beberapa guru mengusulkan dipotong saja untuk dimakan ramai-ramai. Saat ide itu diusulkan ke anak-anak, sebagian besar anak SD yang sudah datang mengiyakan. Maka dipotonglah Cika, tak lupa proses pemotongan didokumentasikan oleh pak Impu untuk jadi kenang-kenangan.

Namun disinilah pangkal masalah. Rupanya, ijin pemotongan Cika hanya diperoleh  dari anak laki-laki, sementara anak perempuan – yang dengan penuh semangat memberinya nama cantik- tidak diberitahu. Maka Jumat siang itu, saat tiba di sekolah, Diva, Izzah, Tiya dan Aziizah langsung menghambur ke Bu Olle sambil berurai air mata untuk mengadukan Cika yang telah dipotong tanpa sepengetahuan mereka.

Sambil menangis sesenggukan secara bergantian mereka bercerita tentang Cika yang telah dipotong dan telah dijadikan sup sehingga mereka menolak untuk makan supnya. Melihat anak-anak menangis, pak Impu, yang mendokumentasikan saat-saat penyembelihan Cika pun membujuk dengan cara memperlihatkan foto-foto terakhir Cika. Bukannya membuat tangis anak-anak perempuan reda, tindakan pak Impu justru membuat mereka menangis makin keras! Salah seorang guru lalu menengahi, secara tegas meminta mereka berhenti menangis dengan janji akan mencari tahu, apa dan siapa penyebab Cika hari itu akhirnya dipotong.

Maka sore itu, diadakanlah “sidang” kronologis pemotongan Cika di Musholla. Kepala sekolah mengumpulkan semua anak SD untuk menanyakan kejadian pemotongan Cika pagi itu, bahkan harus menanyakan kepada  guru yang membawa ayam tersebut,  apakah memang miliki sekelompok anak saja atau milik semua anak di Cendekia.  Hingga sidang selesai, tidak ada seorang pun akhirnya yang bisa ditunjuk sebagai dalang, karena sangat banyak siswa yang mengusulkan untuk memotong Cika. Pertama  karena memang sudah cukup besar untuk dipotong, kedua, belum ada tempat yang sesuai untuk memelihara ayam di sekolah, ketiga,  kejadian saat pagi hari, bahwa Cika nyaris mati tergantung.

Mendengar itu, anak-anak perempuan yang paginya telah menangis bombai akhirnya dapat menerima bahwa nasib Cika sebagai ayam Cendekia memang cuma semalam, bahkan tidak sampai 24 jam! Saat mereka bertemu kembali Bu Olle, mereka lalu berpesan, “Bu Guru, lain kali kalau bawa ayam ke sekolah, bawa ayam kecil saja, jangan yang besar. Supaya tidak dipotong!”

Hmm..request yang sangat masuk akal (tapi tidak bagi penggemar daging ayam) 

Komentar